Jelajah
IMG-LOGO

Kesenian Tradisional

Create By 28 October 2022 424 Views

Pada masing-masing dusun di Karangrejo, terdapat kesenian tradisional dengan sejarah yang beraneka ragam. Masing-masing kesenian tersebut memiliki keunikan, ciri khas, hingga filosofi tersendiri. Tim penulis dari Desa Karangrejo berkesempatan untuk mengulik cukup detil terkait kesenian tradisional di masing-masing dusun, diantaranya:

  1. Kobro Siswo Kuda Sendoko

 Kesenian bernama Kobro Siswo Kuda Sendoko ini berasal dari Dusun Sendakan atau Sendaren 2, Desa Karangrejo. Kesenian ini didirikan pada tahun 1930. Mbah Lempah alias Pawirodiyono (91) bercerita panjang lebar terkait sejarah dan cerita di balik kesenian Kubro Siswo ini, yang tak jauh dari kisah Perang Gerilya Pangeran Diponegoro dan cikal bakal Dusun Senda’an/Sendakan.

Alkisah, pada zaman Perang Gerilya ratusan tahun lalu, Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke daerah Karang. Kemudian ia ingin bertemu dengan sekutu yaitu Kiai Sendoko  yang merupakan teman sebangsanya, untuk mengadakan pertemuan di Padepokan Bogelan. Namun, dalam perjalanannya ke Padepokan tersebut, mereka dihadang oleh Pasukan Belanda. Terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah pihak.

Posisi Pasukan Pangeran Diponegoro dan Kiai Sendoko yang terdesak membuat darah Kiai Sendoko mendidih. Kiai Sendoko segera memacu kudanya ke tengah pertempuran dan menancapkan tombak pusakanya di tengah arena pertempuran.  Secara tiba-tiba, langit menjadi gelap dan tanah naik ke atas menjadi bukit disertai dengan tumbuhnya pepohonan yang lebat. Peristiwa tersebut membuat angkatan bersenjata Belanda sekaligus arwah Pangeran Diponegoro kembali muncul dan langsung menyerang membabi buta.

Pasukan Belanda sangat kesulitan menghadapi dan akhirnya berhasil dipukul mundur. Mereka kocar-kacir melarikan diri dan terserai-berai. Peperangan dimenangkan oleh Pasukan Pangeran Diponegoro dan Kiai Sendoko. Untuk menghargai jasa Kiai Sendoko, maka dusun tersebut dinamakan Sendakan, yang dipimpin langsung oleh Kiai Sendoko sendiri. Setelah melakukan penyelamatan atas kemenangan Pangeran Diponegoro dan pasukannya, Kiai Sendoko melanjutkan perjalanan ke Padepokan Bogelan.

Dalam kesenian Kudo Sendoko ini, para pemainnya terdiri atas sembilan penari Kuda Lumping, sembilan penari Jathilan, delapan penari Buto, serta tujuh Pengrawit atau penabuh gamelan. Durasi permainan berlangsung selama kurang lebih satu jam.

                Saat pertama kali tampil, kesenian ini terkesan sangat sederhana. Mereka hanya memakai jarit yang dipinjam dari masyarakat, dan kaos kaki seadanya. Lambat laun, ketika Mbah Pawirodiyono menjadi ketua kesenian, beliau membeli surjan hijau untuk pelengkap, sedangkan atribut lainnya diperoleh dengan menyewa. Tidak ada makna tertentu berkaitan dengan atribut. Kostum yang dikenakan hanya mengikuti tradisi masyarakat yang ada. Adapun lagu yang sering dibawakan pada saat penampilan merupakan tembang Jawa seperti Dandanggula, Pocung, Sinom, dan Pangkur.

  1. Syubbanul Muslimin

Kesenian yang berasal dari Dusun Bumen Jelapan ini memadukan antara syair Islami dengan gerakan pencak silat nasional. Syair yang dilantunkan dalam Syubbanul Muslimin tersebut berisi petuah-petuah, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Jawa. Kesenian ini diperkirakan telah berdiri sebelum kemerdekaan RI oleh para Ulama sebagai pertanda dukungan terhadap langkah Pangeran Diponegoro.

“Kenapa dinamakan Syubbanul, karena artinya adalah pemuda, gerakan pemuda ataupun pemuda yang bergerak. Kalau Muslimin artinya orang-orang Muslim. Pada zaman penjajahan dulu banyak Kiai yang pro dengan Pangeran Diponegoro, sehingga dilarang untuk berkumpul. Oleh karena itu, mereka menyalurkannya lewat seni. Ada yang bertumbuh kembang menjadi Ndayakan, Jathilan, Topeng Ireng, Kubro Siswo, dan lain-lain”. Dengan kata lain, kesenian menjadi medium untuk kamuflase atau mengelabuhi orang-orang asing. Selain itu, dari kesenian itu sendiri secara tidak langsung mengajarkan bela diri, sebagai persiapan manakala nanti dibutuhkan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Mulanya, personel yang terlibat kira-kira 20 orang. Seiring berjalannya waktu, personel kesenian ini bertambah pemain gambus, rodek, dan atraksi. Ada pula tambahan iran-iran atau kekewanan. Terlepas dari itu semua, baik gerakan maupun tembang dalam kesenian ini berisi nasihat dan satu petuah dengan gerakan silat.

Sayangnya, saat ini kesenian syubbanul muslimin sudah tidak eksis lagi karena anak-anak muda dusun banyak yang sudah bekerja ke luar daerah, sehingga tidak ada lagi generasi penerus dari kesenian ini.

  1. Kekewanan

“Orang itu kalau buat kaligrafi bagus, melukis bagus, buat dekorasi bagus, saya saja kalah. Tapi, pas buat ndas-ndasan tidak bisa, masalahnya tidak sabar. Harusnya telaten dan sabar itu jadi satu. Kuncine niku,” kata pria setengah baya yang kerap disapa Sokhib. Beliau adalah pengrajin kostum kekewanan dari kesenian tradisional di Desa Karangrejo.

Sore yang cukup syahdu, membawa tim penulis Desa Karangrejo kembali berkelana mencari hal-hal menarik berkaitan dengan kesenian tradisional yang ada di desa. Kami mampir ke sebuah gubug sederhana milik  Muhammad Sokhib. Lewat tangan kreatifnya, Sokhib ikut berperan memproduksi salah satu kostum kesenian tradisional di desa Karangrejo, yaitu Kekewanan. Sokhib mulai merintis usaha yang dipelajarinya secara otodidak itu sejak tahun 2013.

                “Berawal dari pinjam, saya berpikiran kalau nanti sama yang punya lagi dipakai. Otomatis kan nggak bisa pinjam. Saya berpikiran seandainya punya sendiri, kalau beli kan harganya mahal. Buat rombongan kan paling tidak sekitar kurang lebih 7 setel, paling tidak kan butuh biaya mahal,” kisah pria itu. Pemikiran itulah yang  kemudian membuatnya berinisiatif membuat kostum kekewanan sendiri. Dalam proses pembuatannya, Sokhib membutuhkan bahan seng atau aluminium, keling kripet, gantungan, tambahannya cat. Cara pembuatannya pun dilakukan secara manual atau tidak menggunakan alat bantu mesin. “Alatnya cuman sederhana, cuman palu, tang, gunting, alat-alat modern tidak ada”, imbuhnya.

Bahan-bahan yang digunakan merupakan bahan bekas yang masih bagus. Apabila kondisi bahan yang digunakan sudah tidak baik, kualitas ndas-ndasan yang dihasilkan juga menjadi kurang baik. “Orang yang biasa tempat saya beli sudah tahu, saya pesannya tetap yang bagus. Bekas tapi yang bagus, dibuat itu tidak rusak”, tutur Sokhib.

 Berdasarkan pengalaman Sokhib, untuk memproduksi satu kepala biasanya memakan waktu sekitar lima hari. Dalam setiap minggunya, Sokhib hanya mampu membuat 2 karakter saja. Jika dua karakter itu belum selesai, Sokhib tidak bisa beranjak ke karakter lainnya, karena akan berpengaruh padapenyelesaian karakter yang telah dibuat sebelumnya. Adapun karakter-karakter yang biasa dibuat Sokhib antara lain macan tutul, macan ireng, macan kumbang, dan macan kuning.

Menurut sebagian orang yang mempercayainya, ndas-ndasan atau kekewanan ini diibaratkan sebagai emosi dalam diri kita. Sebagai manusia yang berakal, seyogyanya menjaga agar emosi yang ada dalam diri tidak menjadi ganas seperti hewan buas, misalnya macan, karena akan merugikan diri sendiri dan orang-orang di sekeliling kita.

LINK ext