Jelajah
IMG-LOGO

Sosialisasi Pencegahan Pernikahan usia Dini dan Stunting

Create By 14 July 2023 222 Views

Di Indonesia, fenomena pernikahan dini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan. Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, pernikahan dini di Indonesia masih marak terjadi dan tercatat sepanjang tahun 2022 ada 52.338 kasus Meski ada penurunan dibandingkan tahun 2021, yaitu 59.709 kasus, namun angka tersebut masih sangat tinggi dibandingkan pada 2019 yang tercatat ada 23.126 pernikahan dini. Meskipun angka dispensasi perkawinan turun 12,3% dibandingkan tahun lalu, perkawinan anak masih merupakan persoalan genting. Ada catatan tentang terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan pada anak-anak yang kemudian dinikahkan menjadi perhatian utama bagi semua pihak. Perkawinan anak merupakan persoalan genting karena akan menimbulkan dampak terhadap anak baik dampak psikis, sosial, ekonomi dan kesehatan. Juga, dampak kesehatan reproduksi, yang salah satunya akan memiliki risiko lebih besar mengalami kanker leher rahim karena telah melakukan hubungan seksual lebih awal di usia anak, serta belum matangnya alat reproduksi ketika harus hamil di usia anak.

Selain itu, pernikahan dini juga telah menjadi masalah global yang kompleks dan data menyebut, secara global hampir 41.000 anak perempuan dipaksa menikah setiap hari.

Dilansir dari laman resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pernikahan pada usia 12-21 tidak dibenarkan oleh Undang-Undang. Idealnya, perempuan disarankan menikah di atas umur 21 tahun karena tubuh dan psikologinya dinilai lebih siap. Pasalnya, pernikahan dini akan berdampak pada kesehatan jasmani, kesehatan, sosial hingga psikologis anak-anak perempuan maupun laki-laki. Maka dari itu, pencegahan pernikahan dini perlu dilakukan untuk meminimalisir banyak negatif yang diakibatkannya.

Kesadaran berbagai stakeholder mulai dari orang tua, tokoh masyarakat, dan pemerintah dapat mengubah kasus pernikahan dini dan mengakhiri praktik negatif ini. Lalu, bagaimana cara pencegahan pernikahan dini dan apa saja dampak menikah di usia muda? Simak penjelasannya di bawah ini.

Cara Pencegahan Pernikahan Dini

Menyediakan Pendidikan Formal Memadai

Ketika anak-anak perempuan dan laki-laki mendapatkan kesempatan akses pendidikan formal yang memadai, maka pernikahan dini dapat dicegah. Setidaknya, minimal anak-anak dapat menyelesaikan pendidikan SMA sebelum menikah. Riset menunjukkan, meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah perkawinan anak. Mendapatkan akses ke pendidikan formal juga membuat anak-anak memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal tersebut pada akhirnya dapat lebih memudahkan untuk mencari pekerjaan sebagai persiapan untuk menghidupi keluarga.

 Pentingnya Sosialisasi tentang Pendidikan Seks

Kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual menjadi salah satu alasan masih tingginya pernikahan dini di Indonesia. Mengedukasi anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual penting untuk dilakukan. Hal tersebut tak lepas terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang hubungan seksual yang dapat mengakibatkan komplikasi kehamilan hingga dipaksa untuk menikahi pasangan mereka.

Penelitian Aliansi Remaja Independen pada 2016 menunjukkan bahwa 7 dari 8 anak perempuan di Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur mengaku hamil sebelum menikah. Padahal, kehamilan di usia dini dapat meningkatkan kemungkinan meninggal dua kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang hamil di usia 20-an.

Memberdayakan Masyarakat Agar Lebih Paham Bahaya Pernikahan Dini

Orang tua dan masyarakat sekitar adalah stakeholder terdekat yang dapat mencegah terjadinya pernikahan dini. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemberdayaan kepada mereka terkait konsekuensi negatif dari pernikahan dini. Adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat menginspirasi agar membela hak-hak anak perempuan dan tidak memaksanya untuk menikah dini. Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Meningkatkan Peran Pemerintah

Cara pencegahan pernikahan dini agar tidak timbulkan komplikasi kehamilan bisa dilakukan dengan mendorong peran pemerintah dalam meningkatkan usia minimum pernikahan. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa perkawinan akan diizinkan apabila anak laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 tahun. Kebijakan hukum lain yang dapat menjadi alat untuk mencegah pernikahan dini di antaranya seperti pencatatan akta kelahiran dan perkawinan.

Mendorong Terciptanya Kesetaraan Gender

Anak perempuan lebih rentan mengalami pernikahan dini lantaran persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestik atau rumah tangga.

Keluarga dan masyarakat cenderung menganggap anak perempuan lebih siap untuk menikah ketika sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki justru lebih dibebaskan untuk menikah dan menjadikan kemandirian secara ekonomi sebagai kesiapan. Padahal, mau perempuan atau laki-laki memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya dalam menikah. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk terus berkarya tanpa harus ditakuti dengan stigma “jangan jadi perawan tua, nanti nggak ada laki-laki yang mau”.

 

Dampak Pernikahan Dini

Pencegahan pernikahan dini perlu untuk terus didorong agar kasusnya terus mengalami penurunan. Pasalnya, ada berbagai dampak pernikahan dini yang membahayakan yaitu:

 1. Gangguan Kesehatan Gangguan kesehatan akibat pernikahan dini, bisa menyebabkan perempuan berisiko mengalami osteoporosis. Selain membuat tubuh menjadi bungkung, tulang lebih rapuh dan mudah patah, pernikahan dini juga bisa mengakibatkan kanker mulut rahim.

2. Risiko Bayi Lahir Stunting Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang akan terlihat lebih pendek untuk anak di usianya. Risiko tersebut dapat terjadi karena adanya hubungan antara usia ibu saat melahirkan yang membuat potensi melahirkan bayi stunting lebih besar.

3. Pernikahan Tidak Harmonis Menikah membutuhkan kesiapan psikologis yang matang, karena akan ada banyak pasang-surut masalah di dalamnya. Pada kasus pernikahan dini, biasanya pasangan belum memiliki kesiapan mental yang kuat dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Akibatnya, perceraian pada pasangan pernikahan dini sangat tinggi lantaran ketidakharmonisan rumah tangga dan minimnya pengetahuan tentang manajemen emosi serta penyelesaian masalah.