Jelajah
IMG-LOGO
Sejarah

Islamisasi, Cara Diponegoro Memperlakukan Tawanan Perang

Create By dain 04 December 2022 296 Views
IMG

"Bisa jadi, tindakan Diponegoro ini terinspirasi dengan para raja-raja Mataram pendahulunya".

 

Dalam sebuah pertempuran tentunya ada prajurit yang terbunuh dan tertawan karena mengalami kekalahan dalam peperangan. Diponegoro dalam menangani tawanan perang sebenarnya memperlakukan dengan berbagai cara.

Pernah para tawanan Belanda itu dipaksa harus mengenakan pakaian Jawa. Pernah juga Diponegoro mengharuskan para tawanan Belanda itu menggunakan bahasa Jawa tinggi (kromo) dan melarang keras tawanan itu menggunakan bahasa kolonial yang tidak disukainya yaitu bahasa Melayu Pasar yang dianggapnya sebagai “bahasa ayam”.

Tidak jelas mengapa Diponegoro mengistilahkan bahasa Melayu sebagai “bahasa ayam”. Tetapi yang jelas Diponegoro tidak menyukai penggunaan bahasa Melayu karena bahasa Melayu dianggapnya sebagai bahasa penjajah.

Cara lain yang dilakukan Diponegoro dalam memperlakukan tawanan perang orang-orang Belanda adalah para tawanan itu akan diampuni jika mereka bersedia disunat dan masuk agama Islam. Diponegoro menganggap apabila para serdadu Belanda yang tertangkap itu bersedia masuk agama Islam, maka dianggap sebagai saudaranya bukan lagi musuhnya.

Cara seperti ini sebenarnya pernah dilakukan oleh pendahulunya, raja terbesar dinasti Mataram, Sultan Agung (bertakhta 1613-1646) dalam memperlakukan orang-orang Belanda sebagai tawanannya.

Saat itu Sultan Agung mengumpulkan para tawanan itu di pintu gerbang tol Trayem yang letaknya di perbatasan jalan raya Kedu dan Yogyakarta. Para tawanan itu diberi makan sehari-hari dari penghasilan jalan tol. Para tawanan itu diperlakukan dengan ketat dengan diborgol dan ada juga yang dipasung. Mereka akan dibebaskan apabila bersedia masuk agama Islam.

Tentu saja Kompeni Belanda setelah mendengar berita ini segera mengirim pemuka agama bernama Antonie Paulo. Menurut van Goens, seorang utusan Kompeni Belanda di Mataram, Antonie Paulo saat itu menjabat sebagai wakil kepala perdagangan.

Setelah Antonie Paulo bertemu dengan para tawanan itu dan memberikan siraman rohani agar para tawanan itu tetap kepada keyakinannya, maka para tawanan itu imannya semakin kuat dan tidak mau pindah agama.

Sultan Agung yang mendengar kuatnya iman mereka setelah kehadiran orang Belanda yang bernama Antonie Paulo itu marah besar. Antonie Paulo dianggap sebagai seorang penyihir hebat karena dapat mempengaruhi orang yang begitu cepat.

Pada tahun 1632 Antonie Paulo ditangkap tentara Sultan Agung dan dihukum oleh Sultan Agung karena dianggap penyihir. Dia dilemparkan ke kolam yang berisi buaya yang sedang kelaparan sehingga tewas seketika.

Tawanan-tawanan itu kemudian dikurung lagi dan dikabarkan ada sekitar 40 tawanan yang masih hidup. Ada 8 orang yang dibebaskan dari penjara karena bersedia masuk Islam.

Di zaman Mataram Islam Kartasura di bawah Sunan Paku Buwono II (bertakhta 1726-1749) juga demikian. Saat itu Sunan Paku Buwono II memutuskan untuk membela orang-orang Tionghoa ketika terjadi Geger Pecinan (1740-1743) yaitu perang antara orang-orang Kompeni Belanda dengan orang-orang Tionghoa.

Bentuk pembelaan itu adalah Sunan memerintahkan menggempur benteng Belanda di Kartasura pada 20 Juli 1741. Sekitar 35 tentara Kompeni Belanda terbunuh dalam serangan itu. Pasukan Mataram mengepung benteng itu selama 3 minggu.

Dalam pengepungan benteng Kompeni Belanda di Kartasura itu, Sunan Paku Buwono II menawarkan kepada yang masih hidup untuk masuk Islam atau mati. Apabila mereka bersedia masuk Islam maka jiwanya akan selamat.

Awalnya seruan itu tidak digubris oleh serdadu Kompeni. Tetapi setelah bulan Agustus 1741 pasukan di benteng Kompeni Kartasura menyerah. Para serdadu Kompeni Belanda banyak yang beralih agama Islam.

Komandan garnisun Benteng Kartasura, Kapten Johanes van Velsen tetap bersikukuh kepada keyakinannya sehingga dia dieksekusi mati dan benteng Kartasura dihancurkan. Setelah penyerangan ke benteng, Sunan Paku Buwono II kemudian memerintahkan membantu orang-orang Tionghoa menyerang Kompeni di Benteng Semarang.

Kelak petempuran antara orang-orang Tionghoa dengan Kompeni Belanda dimenangkan oleh Kompeni Belanda dan Sunan Paku Buwono II mengaku bersalah kepada kompeni karena membela orang-orang Tionghoa dan memohon ampun kepada Kompeni Belanda atas tindakannya yang memusuhi orang-orang Kompeni Belanda dalam perang Geger Pecinan.

Tindakan inilah yang membuat sakit hati orang-orang Tionghoa dan berujung pada penyerbuan Raden Mas Garendi dengan didukung orang-orang Tionghoa ke Istana Kartasura, sehingga Sunan dan Kompeni harus melarikan diri ke Ponorogo. Tetapi kelak Raden Mas Garendi dapat dikalahkan dan Istana Kartasura dapat direbut lagi oleh Sunan dengan bantuan Cakraningrat IV dari Madura dan Kompeni Belanda.

Diponegoro dalam memperlakukan tawanan orang-orang Belanda juga meminta untuk memilih antara masuk Islam atau tetap pada keyakinannya. Jika bersedia masuk Islam maka akan segera diampuni, tetapi jika tetap pada keyakinannya maka akan tetap diperlakukan sebagai tawanan perang.

Bisa jadi, tindakan Diponegoro ini terinspirasi dengan para raja-raja Mataram pendahulunya. Perlakuan Diponegoro ini bisa juga karena didasarkan Sang Pangeran dalam Perang Jawa ini mengusung idiologi perang sabil sehingga harus mengislamkan kepada para tawanan perang.

 

Penulis Lilik Suharmaji

Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta