Jelajah
IMG-LOGO
Sejarah

Cerita dari Catatan Pembelot Belanda ke Pasukan Diponegoro

Create By dain 04 December 2022 688 Views
IMG

Beberapa episode yang lalu, sudah saya sampaikan tentang Islamisasi yang dilakukan Diponegoro kepada para tawanan dalam Perang Jawa (silakan baca DI SINI). Memang dalam Islamisasi itu seperti juga mentornya, Sultan Agung, di zaman Diponegoro ada yang berhasil dan banyak juga yang mengalami kegagalan.

Kisah menarik yang sekarang saya sampaikan dalam tulisan ini adalah ceritera yang ditulis oleh pembelot dari Belanda yang bernama Paulus Daniel Portier.

Sebenarnya, dia ini bukanlah prajurit perang, apalagi panglima perang Belanda. Dia sebelumnya bekerja sebagai inspektur atau penjaga sarang burung walet di Rongkop Gunungkidul yang memang sejak Sultan Mangkubumi berkuasa, komoditi sarang burung walet sangat tinggi harganya.

Portier ditangkap oleh pasukan Diponegoro di Gunungkidul pada pertengahan tahun 1826 saat Diponegoro dan pasukannya menang perang diberbagai front.

Portier menceritakan bahwa ketika ditawan oleh pasukan Diponegoro selama 2 bulan antara bulan Agustus sampai dengan September 1826, dia diberi dua pilihan yaitu mati atau masuk agama Islam dan melakukan aktifitas sehari-hari seperti orang Jawa baik busananya maupun bahasanya.

Saat itu Portier dijanjikan apabila dia mau masuk Islam, berbahasa Jawa dan berbusana Jawa, maka dia akan diangkat menjadi komandan pasukan dengan gaji bulanan yang layak sesuai jabatannya sebagai komandan. Tidak itu saja Portier juga dijanjikan mendapatkan hak-hak istimewa lainnya sesuai pangkatnya sebagai panglima perang.

Ketika mendapat tawaran seperti itu, Portier bersedia menjadi bagian dari tentara Diponegoro. Untuk itulah kemudian dia disunat dan dibaiat menjadi seorang muslim. Dia diberi nama muslim baru yaitu Nur Samidin. Sejak itu Portier berjanji ikut bertempur hidup atau mati bersama dengan pasukan Diponegoro.

Agar pasukan Diponegoro tidak menaruh curiga kepada Portier karena dari ciri-ciri fisiknya jelas terlihat orang bule, dia diberi lambang jabatan oleh bupati Pacitan pengikut Diponegoro yang bernama Kiai Tumenggung Jogokaryo.

Lambang jabatan yang diberikan itu berupa seekor kuda sehat dan gagah, sebilah keris dengan sarung bersepuh emas, dan jas khas Jawa yang bermotif lurik.

Setelah Portier mengenakan busana itu dia mengatakan: “Aku sekarang telah menjadi persis seperti orang Jawa bahkan sampai pakaianku.”

Tentu saja Portier menjadi pusat perhatian dari semua pasukan Diponegoro. Ada yang masih merasa curiga karena dianggap sebagai mata-mata Belanda, tetapi ada yang sudah merasa percaya bahwa Portier adalah pembelot Belanda.

Untuk meyakinkan kepada pasukan Diponegoro bahwa Portier seorang pembelot dari Belanda, Pangeran Mangkubumi, ketika di Desa Rejoso Kulonprogo mengatakan: “Nah orang Eropa tuh, walaupun dia Belanda dia persis seperti orang Jawa. Jangan ganggu dia.”

Tentu saja dengan perintah Pangeran Mangkubumi ini para pengikut Diponegoro tidak mencurigainya lagi karena Pangeran Mangkubumi adalah paman sekaligus penasehat utama Diponegoro.

Sebenarnya beberapa tawanan Perang Jawa ada yang tidak seberuntung Portier. Nasib apes dialami inspektur gubernemen pertanian di Pacitan yang bernama van Vlissingen.

Setelah dia tertangkap bukannya disuruh beralih agama Islam, diberi pakaian Jawa atau disuruh menggunakan bahasa Jawa sehari-harinya tetapi setelah tertangkap, dia dipenggal kepalanya karena pengikut Diponegoro itu sudah memuncak kebenciannya terhadap inspektur itu.

Ada lagi seorang penyewa tanah yang berasal dari Prancis bernama Francois Deux. Agar dia tidak menjadi sasaran amuk para pengikut Diponegoro, dia sehari-harinya mengenakan peci seperti orang muslim ke Masjid beribadah di hari Jumat.

Pakaian yang dikenakannya itu sudah menandakan bahwa dia sudah menjadi muslim, tetapi tetap saja dia dibenci oleh para pengikut Diponegoro karena Francois Deux dahulu anak buahnya van Vlissingen yang sudah tiada karena dipenggal kepalanya.

Sebenarnya sumber-sumber berupa catatan seperti yang dilakukan oleh Portier ini sangat berguna untuk mengungkap sisi unik dari Perang Jawa.

Dengan demikian, masyarakat terbuka wawasannya bahwa ada sisi humanismenya di balik kebengisan sebuah peperangan yang merenggut banyak nyawa.

 

 

Penulis Lilik Suharmaji

Funder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakartattt Studi Mataram) tinggal di Yogyakartatt